TEMPO.CO, Jakarta -Empat seniman Indonesia unjuk karya mereka dalam pameran bertema Root-Indonesian Contemporary Art yang berlangsung di Frankfuter Kunstverein, Frankfurt Jerman. Mereka adalah Agustinus Kuswidananato (Jompet), Eko Nugroho, Joko Avianto dan Tromarama. Karya mereka dipajang sejak 25 September 2015-10 Januari 2015.
Pameran ini merupakan bagian dari Frankfurt Book Fair di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan pada tahun ini. Pameran ini dihelat oleh Galeri Nasional Indonesia dan Frankfuter Kunstverein, sebuah asosiasi galeri dan seni yang tertua dan paling disegani di Jerman.
frankfuter Kunstverein,ini dikenal sebagai tempat pameran seni rupa kontemporer yang berada di area pusat trend artistic di Romerberg. “Ini merupakan program regular Galeri Nasional, bekerja sama dengan galeri ternama di luar negeri. Kali ini di Frankfuter Kunstverein yang letaknya sangat strategis,” ujar Tubagus Andre Sukmana, Kepala Galeri Nasional Indonesia, di kantornya, sebelum keberangkatan ke Frankfur, Ahad, 11 Oktober 2015.
Roots, Indonesian Contemporary Art dikuratori oleh Asikin Hasan dan Rizki Ahmad Zaelani. Mereka memilih empat seniman setelah menyeleksi 15 seniman. Pameran ini telah direncanakan hampir dua tahun lalu. “Pekerjaan yang berat, kami diskusi memilih karya yang akan dibangun di venue,” ujar Asikin. Karya-karya ini telah terdisplay 25 September lalu dan saat pembukaan dikunjungi oleh 520 orang. Tema ini diambil untuk memperlihatkan perkembangan seni kontemporer Indonesia dari para seniman muda yang berakar dari tradisi budaya Indonesia dan menyongsong kemajuan modernitas ke depan.
Inilah para seniman dan karyanya:
Joko Avianto –Big Trees
Joko belajar di Fakultas Desain dan Seni, Institut Teknologi Bandung. Dia menjadi tutor pada Studio Seni Patung ITP dan menjadi kurator di Selasar Sunaryo, mengajar di STSI Bandung. Joko dikenal sebagai seniman patung dengan material bambu dengan teknik pecah bambu. Dengan teknik ini, dia bia memilin, memelintir, dan menganyam bamboo membentuk karya yang mengagumkan.
Dia membuat warga Frankfurt dan pengunjung kafe Frankfuter Kunstverein terperangah dengan karya bambunya berjudul Big Trees. Karya yang disusun lebih dari 1500 bambu tali awi yang dibawa dari Sumedang. Pohon karya Joko ini berukuran panjang 14 meter, kedalaman 5 meter dan tinggi 9 meter. Ratusan bambu ini tertopang pada 100 batang bamboo yang ditanam pada beton seukuran 1 x 1 meter persegi.
Joko mengakui pembuatan karyanya kali ini lebih menantang dibandingkan pembuatan karya bambu sebelumnya di beberapa negara tetangga. Dia merasa bangga karena mendapat banyak dukungan. “Kami dipinjami perlengkapan keselamatan kerja dari Museum Frankfurt yang ternama, kami juga sering diberi makanan oleh warga yang datang,” ujar Joko kepada Tempo.
Agustinus Kuswidananato (Jompet)—Power Unit
Jompet mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Dia sempat menjadi gitaris pada sebuah grup rock dan pemain teater Garasi. Sejak 1999-2006, Jompet mulai mengembangkan seni teater dan instalasi multimedia. Dia menerima berbagai penghargaan atas seni karya instalasinya itu dari beberapa negara.Karyanya pun di pamerkan di berbagai pameran di dalam dan luar negeri.
Pada pameran Root ini, Jompet menampilkan karya berjudul Power Unit. Karya instalasi yang menggantungkan patung atau manekin setengah badan berselubung kaos pop dan sarung Lalu ada gantungan setang-setang sepeda motor.
Jompet ingin menggambarkan pawai-pawai jalanan dari kelompok keagamaan tertentu yang sering membawa atribut-atribut. Sebuah toa dipasang. Dari toa itu keluar bunyi klakson, suara orang menyeru-nyeru. Lampu pada setang sepeda secara otomatis menyala sendiri, dan terdengar suara menderum-derum menyerupai atribut massa kelompok fundamentalis. Sebuah toa atau pengeras suara dan tangan seperti robot ikut meramaikan belasan manekin tersebut.
Kelompok Tromarama—Break a Leg
Kelompok ini terdiri dari tiga anak muda lulusan Institut Teknologi Bandung: Febie Babyrose, Herbert Hans, Ruddy Hatumena. Kelompok ini terbentuk pada 2006 lalu. Ketiganya tertarik pada karya seni video, animasi dan instalasi. Mereka biasa berkarya bersama dalam kelompok ini atau sendiri-sendiri. Mereka juga telah berpartisipasi dalam berbagai forum internasional di dalam dan luar negeri.
Pada pameran di Frankfurt ini mereka menampilkan karya instalasi dari 230 lembar handuk. Mereka menggelantungkan ratusan handuk leher putih yang murah yang diproduksi masal di Cina. Mereka membeli handuk-handuk itu di Cina. Merknya: Good Morning. Mereka ingin merefleksikan soal globalisasi di Asia. Bagaimana handuk-handuk murah dari Cina itu bisa dijual ke seluruh penjuru Asia. Mereka juga inign menyajikan bagaimana rutinitas kaum urban dalam menghadapi sistem yang berulang setiap hari. “Dia harus ikut dalam konstruksi itu untuk survive,” ujar Herbert.
Di tiap handuk itu dibordir sesosok laki-laki berlari atau animasi yang berbeda. Handuk ini merupakan frame dari tayangan video animasi yang dihidupkan secara digital di sebuah layar. Instalasi jemuran ini, kata Herbert, seperti menggambarkan situasi jeda dari sistem yang selalu berulang itu.
Eko Nugroho—Anomaly
Sejak kecil Eko tertarik pada seni. Dia mempelajari seni secara formal di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta dan meneruskan ke Institut Seni Indonesia. Dia juga mendirikan sebuah kelompok seni Dagingtumbuh, sebuah wadah seni underground dan komik indie. Eko juga dikenal sebagai kartunis, animator, pelukis, penggambar mural dan dalang. Dia juga pernah terlibat dalam seni teater. Eko telah melanglang buana dengan menggelar pameran di berbagai festival, pameran internasional di dalam dan luar negeri.
Pada pameran di Frankfur ini, Eko Nugroho menggambari dinding-dinding yang menghubungkan lantai satu dan dua. Seperti biasa mural Eko berupa sosok-sosok antara astronot dan makhluk antah berantah tapi ada celetukan-celutakan politik.Nicht politisch sondern schicksal tulisnya di dinding.
DIAN YULIASTUTI.