TEMPO.CO, Yogyakarta - Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta meluncurkan buku Wiled Berdangga Laras Slendro yang merupakan dokumentasi atas gending Jawa bergaya (gagrak) Ngayogyakarta. Buku ini merupakan alih aksara naskah kuno (Titilaras Andha) karya Radeng Tumenggung Kertanegara pada 1819 yang dihimpun kembali oleh Raden Tumenggung Wiraguna.
Anggota tim penerjemah, Kanjeng Raden Tumenggung Purwodiningrat, mengatakan penerbitan buku ini didasari keprihatinan kecilnya jumlah dokumentasi gending Jawa bergaya Yogyakarta. Selain itu, banyak dari gending-gending itu mulai jarang dimainkan dalam pentas karawitan. “Kebanyakan (dokumentasi) gagrak Surakarta,” katanya, Senin 31 Agustus 2015.
Baca Juga:
Gending Jawa pada dasarnya hanya satu. Karena pada masanya, Surakarta dan Yogyakarta adalah satu kerajaan. Maka gendingnya juga memiliki kesamaan. Bahkan cara memainkannya juga tak banyak berbeda. Meski demikian, ia mengatakan, gending Yogyakarta dan Surakarta tetap memiliki perbedaan. Dan buku setebal 326 ini hanya merangkum gending laras pelog bergaya Yogyakarta.
Catatan gending dalam naskah kuno, lanjut dia, tercatat dengan tulisan tangan, bernotasi andha, dan beraksara Jawa. Notasi ini berbeda dengan partitur pada musik-musik barat. Notasi andha tersusun dari atas ke bawah. Bentuknya bulat-bulat. Tim penerjemah lantas menerjemahkannya pada aksara kepatihan (aksara latin). “Proses alih aksara itu berlangsung sejak 2005,” kata Trustho, salah seorang editor buku.
Ia mengatakan semasa hidupnya, Wiroguna setidaknya mendokumentasi 550 gending Jawa gagrak Yogyakarta berlaras pelog dan slendro. Sementara laras slendro terangkum dalam buku ini, laras pelog terdokumentasikan dalam buku yang diluncurkan Dinas Kebudayaan pada 2014 lalu. Di luar kedua buku itu, masih banyak gending-gending Jawa yang belum terdokumentasikan dengan baik.
Selain itu, lanjut dia, catatan tentang gending juga belum lengkap sempurna. Alasannya, simbol notasi gending yang belum baku laiknya partitur dalam musik-musik barat. Tapi, “Penerbitan ini menjadi upaya penyelematan, dulu naskah kuno itu hanya tulisan tangan,” katanya.
Pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta Siswadi mengatakan karawitan adalah seni tradisi. Dulu, seni diajarkan dengan cara menularkannya melalui tradisi lisan. Tapi, ia melanjutkan, beruntung ada tokoh seperti Kertanegara dan Wiraguna yang tergerak untuk mendokumentasikan dalam notasi andha. “Bisa dibayangkan kalau tak ada dokumentasi mereka, mungkin buku ini juga tak ada,” katanya.
Menurut dia, sebuah dokumentasi yang baik adalah catatan yang memberikan informasi sebanyak-banyaknya. Dan musik-musik barat-lah yang memiliki kelengkapan dokumentasi notasi. “Karawitan tidak seperti itu,” katanya.
Sementara partitur dalam musik Barat dibuat untuk dimainkan, notasi gending hanya berfungsi sebagai “balungan”. Posisi itu, ketidaklengkapan catatan, kata dia, tidak serta merta menjadi kelemahan bagi gending Jawa. “Karena memang beda musik barat dan gending Jawa,” katanya.
Salah satu keunggulannya, kata dia, notasi gending Jawa memberi peluang pada perawit untuk menerjemahkannya kembali. Sehingga gending Jawa pun berkembang dengan banyak ragam. “Penabuhnya sama saja bisa berbeda musiknya, apalagi penabuhnya beda orang,” katanya.
ANANG ZAKARIA