TEMPO.CO , Makassar: Siti, perempuan 24 tahun, harus menanggung seluruh beban keluarganya, setelah suaminya, Bagus, kecelakaan saat melaut. Tak hanya mengurusi suaminya yang lumpuh, Siti juga harus mengurusi putranya Bagas dan mertuanya Darmi.
Keluarga ini makin terjepit karena kapal Bagus yang baru dibeli dan hilang dalam kecelakaan tersebut dibeli dengan berutang. Siti harus berjuang seorang diri, bekerja siang dan malam. Pada siang hari, Siti berjualan peyek jingking di Parangtritis. Malamnya, ia bekerja sambilan sebagai pemandu karaoke.
Bekerja sebagai pemandu karaoke membuat Bagus tidak mau bicara lagi dengan istrinya. Keadaan ini membuat Siti frustrasi. Kehidupan malam mengantar Siti berkenalan dengan seorang polisi bernama Gatot. Gatot menyukai Siti dan ingin menikahinya. Siti dalam kebimbangan. Tekanan hidup membuat Siti harus memilih untuk kebahagiaan dirinya.
Begitulah kisah Siti diceritakan selama 91 menit oleh sutradara Eddie Cahyono. Film berjudul Siti ini menjadi salah satu film yang diputar dalam ajang SEAscreen Academy edisi #4. Selain menonton film lalu mendiskusikannya, kegiatan selama tiga hari pada akhir Agustus yang digelar di Rumata’ Artspace ini juga menghadirkan program seminar dan workshop “Membaca Arus Baru Sinema Asia”.
Juga diputar film Lelaki Harapan Dunia karya Liew Seng Tat pada Jumat malam. Film berdurasi 93 menit ini mengisahkan tentang sebuah kepercayaan dan legenda di Malaysia tentang “orang minyak” yang merujuk pada hantu dengan penampakan berupa sosok berlumuran minyak. Tak sekadar menonton, pengunjung yang datang juga bisa berdiskusi langsung dengan para sutradaranya.
Lelaki Harapan Dunia karya Liew Seng Tat dari Malaysia, sebuah cerita yang sangat relevan dan mirip dengan tradisi kita, yakni tentang tradisi perpindahan rumah dengan mengangkat rumah tersebut.