TEMPO.CO , Jakarta:Puluhan gambar narapidana Lembaga Pemasyarakatan Banceuy, Bandung, terpasang di tembok dengan beragam tema. Ada yang menggambar gurita dan tengkorak, beberapa membuat gambar daun ganja, bong sabu, serta masjid, area penjara, juga kaligrafi kalimat mutiara.
Seluruhnya ada 53 gambar dengan tiap kertas berukuran 29,7 x 21 sentimeter dari 10 orang napi yang diberi judul; From Banceuy with Love. Karya tersebut dikumpulkan Panca Dwinandhika Zen alias Panca DZ, dan menjadi salah satu bagian dari pameran tunggalnya yang berjudul Bless This Block di galeri Platform 3, Bandung.
Total ada tujuh karya, enam di antaranya buatan sendiri, yang dipamerkannya sejak 29 Mei hingga 26 Juni 2015. Inspirasi pamerannya itu berasal dari tato atau rajah para kriminal. Seniman rajah sejak 2011 yang juga menggambar untuk beberapa pameran tersebut, mengaku tertarik dengan rajah para pelaku kriminalitas setelah sempat mendalami teknik, sejarah, dan makna rajah serta ornamen tradisional di Indonesia.
Riset tersebut dilakoninya saat tingkat akhir kuliah hingga lulus dari Program Studi Desain Produk ITB 2009. Kesempatan untuk melihat dan mempelajari langsung rajah di tubuh narapidana itu, terbuka saat Panca menjadi relawan dari Rumah Cemara yang menawarkan program terapi seni di penjara sejak 2014. "Tujuannya untuk mengalihkan narapidana dari narkoba," ujarnya, Rabu, 17 Juni 2015.
Sepekan sekali tiap Rabu dari pukul 13.00-15.00 WIB, Panca membimbing belasan narapida yang berminat ikut menggambar. Pesertanya kerap berganti tiap pekan. Tak melulu menggambar, Panca membagi waktu pertemuan dengan saling bercerita antar napi. Ia pun mengamati beragam rajah yang umumnya menempel di tubuh peserta.
Bagi para napi, kata Panca, rajah merupakan semacam tameng untuk bertahan hidup di dalam dan di luar penjara. Jumlah dan jenis rajah bisa membuat seorang napi disegani. Namun asumsinya sesuai literatur yang dibacanya pada tradisi rajah di kalangan tahanan penjara Amerika maupun Rusia, meleset 100 persen.
Di negara luar, bentuk rajah napi merupakan semacam kode atau pangkat kejahatan dengan penempatan khusus di tubuh. "Di kita tidak seperti itu, tatonya beragam dan tidak melambangkan kode tertentu," ujarnya. Di era 1980-an, kalangan preman Indonesia misalnya mengenal gambar tato umum, misalnya elang, kapak, naga, yang mengacu ke rajah di Amerika.
Tato menurut Panca, dapat menjadi sebuah simbol status, identitas ataupun simbol kekuatan, juga catatan pribadi, hingga menjadi alat tukar atau barter. "Selain mendapat cap buruk dari masyarakat, pemakainya pun jadi mengkriminalisasi tato," katanya. Adapun rajah yang masih dipakai sebagai budaya dan simbol tradisi, misalnya pada suku Dayak di Kalimantan, dan Mentawai.
Pada karya Bless This Mess, Panca membuat semacam buku tebal sepasang. Sampul kulitnya terbuat dari kayu dan dibiarkan terbuka. Di dalamnya, isi buku diiris dalam untuk menempatkan obat-obatan terlarang, juga alat rajah yang batangnya terbuat dari sikat gigi. Karya itu menggambarkan bagaimana para napi yang berupaya menyembunyikan barang-barang terlarang di dalam penjara.
Di sebelahnya, Panca menempatkan karya berjudul Prison Gun Innuendo. Bentuknya rak kayu yang ditidurkan. Pada tiap kotak kayu berukuran sekitar 30 x 30 sentimeter tersebut, ia meletakkan komponen alat rajah secara terpisah maupun dalam bentuk jadi hasil rakitan sendiri. "Itu semacam sejarah mesin tato, umum di berbagai negara," kata peraih juara ketiga Anugerah Adirupa IV Ciputra Citra Raya 2014 tersebut.
Adapun empat karya berikutnya berupa potret kawannya yang bertato dan ada yang pernah merasakan hidup di dalam penjara. Tiap sosok yang bertelanjang dada itu gambar fotonya dipindahkan ke pelat metal sebagai simbol hidup keras, lalu Panca menambahkan gambar rajah baru sesuai identitas obyeknya, seperti ular dan naga.
Terbiasa menggambar hingga bercorak realis, seniman berusia 30 tahun itu, beranjak ke karya-karya yang berbasis riset. Menurutnya, tidak banyak seniman yang berpola kerja seperti itu karena memakan waktu juga biaya yang tidak sedikit. Rencananya, tema rajah hasil pengamatannya di penjara itu akan terus diolah pada karya berikutnya.
ANWAR SISWADI