TEMPO.CO, Jakarta - Sakdiyah Ma’ruf, 33 tahun, tak pernah menyangka dari kegemarannya tampil di panggung stand-up comedy, ia dianugerahi penghargaan prestisius: Vaclav Havel International Prize for Creative Dissent 2015.
Gadis asli Pekalongan ini terbang ke Oslo pada Mei lalu untuk menerima kehormatan tersebut dari The Human Rights Foundation (HRF). ”Saya pikir panitianya keliru memilih saya,” kata Diyah--sapaan akrabnya--di Yogyakarta, Rabu pekan lalu. Dia merasa tak sebanding dengan dua orang penerima penghargaan lainnya, yakni seorang aktivis nonviolence Sudan dan seniman grafiti Kuba yang tengah dipenjara. ”Kan, keren banget (mereka) itu,” ujar Diyah.
Nama Sakdiyah mulai diperhitungkan sebagai comic sejak tampil dalam sebuah kontes stand-up comedy di sebuah stasiun televisi swasta. Lalu dia tampil di mana-mana. Mahasiswa S-3 Universitas Gadjah Mada ini bersyukur di panggung dia bisa merefleksikan pengalaman hidup dan kegelisahannya.
Ya, saat manggung, dia banyak mengangkat tema yang berangkat dari sosok dirinya sebagai perempuan, muslim, sekaligus keturunan Arab. Tak mengherankan bila pesan-pesan soal keberagaman kerap jadi bahan lawakannya. Rupanya, itulah salah satu pertimbangan panitia dari The HRF untuk memberinya penghargaan. Sakdiyah akan terus berkomedi dengan komitmennya itu. Juga di bawah perhatian keluarganya, yang pernah berpesan: ”Kamu hati-hati. Ngelawak saja. Jangan ngomongin soal Islam, politik, atau Indonesia”. ”Susah, ya?” kata Diyah.
PITO AGUSTIN