TEMPO.CO, Jakarta - Di Graha Bhakti Budaya, Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, di Jalan Cikini, Sabtu 23 Mei 2015, pukul 19.30 WIB, musisi Sawung Jabo akan berpentas dengan grupnya, Sirkus Barock.
Tapi, lirik, “Hio-Hio...” dalam lagu Hio album kelompok Swami 1989 yang sering diindetikkan dengan Jabo pada setiap kali pementasannya, kali ini tidak akan tersaji dalam pertunjukannya pada malam Minggu itu. “Saya tidak akan membawakan lagu-lagu Swami,” kata Jabo dalam acara konferensi persnya di Galeri Cipta II TIM pada Kamis lalu.
Penggalan syair lagu Hio seperti, “....Aku wajar-wajar saja... Aku mau apa adanya... Aku tak mau mengikuti hati nurani....,” yang biasanya dinyanyikan penonton ketika Jabo mau mengakhiri konsernya –seperti yang terjadi di panggung terbuka Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan, beberapa tahun lalu- tampaknya tidak akan terjadi di Graha Bhakti TIM Sabtu ini.
Jabo memang tidak memaksudkan konserya bersama Sirkus Barock yang memasuki tahun ke-8 di TIM ini, sebagai nostalgia pada kiprahnya secara individu di berbagai komunitas yang disinggahinya.
Kali ini, Jabo berfokus pada Sirkus Barock yang didirikannya bersama dengan sejumlah temannya di Bengkel Teater Rendra pada periode 1976 di Yogyakarta. Komunitas Sawung Jabo dan Sirkus Barock kali ini menamai konsernya di Graha Bhakti TIM, Sabtu 23 Mei 2015, yaitu Perjalanan Waktu, kilas balik grup ini dari album pertama mereka yaitu Anak Setan 1986 sampai Anak Angin 2012.
Baca Juga:
Penampilan Sirkus Barock kali ini menjadi istimewa karena menandai transisi pengelolaan TIM dari pola lama ke yang baru pada Juni 2015. Itu sebabnya dalam konferensi pers mereka di Galeri Cipta II Tim pada Kamis itu, dihadirkan Bambang Subekti, yang sebelum perubahan manajemen TIM dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) kepada Unit Pelaksanaan Tenis (UPTI) Pemerintah DKI Jakarta, menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola PKJ TIM. Sebagaimana dengan kelompok kesenian terkemuka lainnya, Bambang Subekti selama ini banyak mendukung pementasan Sirkus Barock di TIM.
Perubahan pola pengelolaan TIM dan GKJ beberapa waktu lalu sempat menimbulkan kontroversi, perdebatan, bahkan demonstrasi. Dalam konferensi pers dan diskusi Kamis itu, masalah itu juga diapungkan kembali oleh beberapa orang yang hadir.
Tapi, Jabo tampak tidak mau larut dalam perdebatan itu juga soal dukungan sponsor pada bentuk dan pilihan kesenian yang “sulit dan tidak lazim.” Pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 4 Mei 1951 dengan nama Mochamad Djohansyah itu hanya bicara soal pilihan musiknya. Itupun Djabo berusaha “biasa-biasa” saja. Ia misalnya tak mau menanggapi sanjungan dari seorang wartawan senior bahwa musiknya layak disebut sebagai musik “avant-garde”. Ia ingin musiknya disebut serderhana. “Pilihan untuk sederhana sebenarnya adalah pilihan yang sulit,” kata Djabo.
Meramu musik modern yang dikenalnya, antara lain melalui pendidikannya di Akademi Musik Indonesia di Yogyakarta –tapi, tak tamat- dan unsur-unsur musik tradisi nusantara yang diakrabinya sejak kecil sampai bergabung di Bengkel Teater Rendra, memang bukan perkara mudah.
Tapi, Jabo sudah membuktikan konsistensinya, minimal dengan merawat Sirkus Barock sampai hampir memasuki usia kelompok itu 40 tahun. Intensitas dan keyakinan pada pilihan bentuk keseniannya, seperti yang dikatakan Dalang Ki Manteb Soedharsono dalam acara obrolan soal wayang kulit purwa di Warung Apressiasi Bulungan, Jakarta, Selasa lalu, memang penting. “Yang utama, Anda merasa yakin bisa di situ dan tekunilah,” kata Ki Manteb.
Dengan keyakinan itu, Jabo bilang memilih arus kecil di tengah arus besar yang melanda musik Indonesia saat ini. Dan, dengan dukungan sahabatnya seperti Tompel Witono dan Erwiyantoro, ia berusaha untuk terus mengadakan konser dengan atau tanpa mendapatkan sponsor. Satu hal yang kabarnya menjadi sebagian kecil dasar dari perubahan pola manajemen pengelolaan di TIM.
HARI PRASETYO