TEMPO.CO , Makassar:Seekor kupu-kupu akhirnya berlabuh di atas sajadah, setelah terpenjara ruang gelap. Kupu-kupu dalam karya ilustrasi berjudul Sayap-sayap Religi ini adalah simbol perempuan. Irnawati menghadirkan sisi feminin dalam karyanya dengan menggunakan kupu-kupu yang mewakili perempuan.
Simbol kupu-kupu yang mewakili perempuan ini juga tampak pada karya berjudul Keadilan Gender. Digambarkan sebuah timbangan gender. Di salah satu sisinya hinggap kupu-kupu yang mewakili perempuan, di sisi lain terdapat kelinci yang mewakili lelaki. “Saya ingin memperlihatkan perlunya keadilan bagi perempuan dan laki-laki,” kata mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Rupa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar ini kepada Tempo, Senin lalu, di Auditorium Al-Amien.
Perempuan 23 tahun asal Enrekang itu menceritakan pengalamannya melalui gambar-gambar ilustrasi. Seperti dalam ilustrasi yang diberi judul Pijakan Berganda, Irna mencoba menggambarkan tentang perempuan yang harus memilih menjadi wanita karier atau menjadi perempuan soleh. Sosok perempuan dalam dua pilihan digambarkan dalam bentuk seekor kupu-kupu. Salah satu sayapnya bermotif uang kertas seratus ribu rupiah, sayap lainnya bermotif tulisan Al-Quran.
Irnawati memajang sembilan ilustrasi dalam pameran bertajuk “Narasi Perempuan” yang berlangsung sejak Ahad lalu itu hingga hari ini. Bersama Irna, empat teman perempuannya dari Seni Rupa Unismuh turut dalam pameran itu. Mereka adalah Riska Amelia juga menghadirkan karya ilustrasi, Siti Rahmatia menyajikan karya desain grafis, lalu Marwana dan Kurniah yang menghadirkan seni kriya.
Iqha—sapaan Riska Amelia—menampilkan tema fashion dan lifestyle. Perempuan kelahiran Kota Daeng ini mengaplikasikan teknik mix media dalam karya ilustrasinya. Karyanya yang berjudul Baby Fashion, Cantik, dan Make Over ini memadukan bahan berupa bulu hewan, kain, dan payet. Karya yang terkesan agak glamor ini terpenjara frame hitam yang sempit dan kurang rapi.
Berbeda dengan empat temannya yang mencoba mengeksplorasi sisi feminin, Marwana menggali kekayaan budaya lokal. Perempuan kelahiran Bulukumba, 24 tahun lalu, ini menyajikan kriya kayu berupa miniatur perahu phinisi. Bulukumba memang terkenal sebagai negeri panrita lopi—para pembuat perahu. Berbeda dengan miniatur phinisi yang sering kita temukan di toko-toko kerajinan, Marwana memaksimalkan penggunaan unsur kayu. Dalam karya berjudul Berlabuh, ia memanfaatkan gambol kayu sebagai tempat berlabuhnya perahu. Pasirnya dibuat dari serbuk kayu hasil gergaji.
Dalam Pelaut Ulung, Marwana memanfaatkan akar kayu yang serupa pohon. Tiap tangkainya menyangga perahu. Total ada tujuh perahu. “Pesan dari karya ini bahwa tidak akan tercipta pelaut ulung di laut yang tenang,” tutur Marwana. Melalui karyanya, Marwana ingin memperkenalkan budaya daerahnya.
Kurator pameran, Muh. Faisal, menilai karya Marwana lebih mengarah pada orientasi produksi kreatif yang bisa saja bersifat profit dan kompetitif dalam industri lokal.
Menurut Faisal, tema “Narasi Perempuan” ini seakan mengiring kita kepada kehidupan perempuan. Di dalamnya tecermin keterkaitan dengan dunia sosial, budaya, religi, seni, dan pendidikan. Tema ini, kata Faisal, adalah suatu bentuk penegasan identitas perempuan.
Irnawati, kata Faisal, menghadirkan sindiran. Ia mempertanyakan banyak hal, mengkritik, sekaligus mempertegas sisi religi. Dalam Menuju Cahaya Tuhan, misalnya, Irna mencoba menghadirkan peristiwa dan fenomena perempuan dengan visualisasi simbol Al-Quran dengan minuman keras, uang, narkoba, serta cinta yang disimbolkan dengan mawar merah. “Irna punya kemampuan menangkap peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan perempuan.”
Riska Amelia juga mencoba menangkap hal-hal seputar dunia perempuan. Menurut Faisal, Riska punya keberanian dalam melewati proses kreatif. Dia menguatkan unsur artistik dengan teknik mix media yang berkembang dan populer pada era 1990-an.
IRMAWATI