TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu sudut Galeri Salihara dipenuhi ilustrasi dan video sesosok gadis berpakaian pemandu sorak bermata besar dengan rambut merah jambu. Sepintas, penampilannya langsung mengingatkan pada tokoh manhwa—sebutan komik dari Korea. Meski salah satu lutut dan matanya dibalut perban, sosok pemandu sorak dalam video tetap melompat dan mengayunkan pom-pomnya dengan semangat. Ilustrasi ini seperti memberikan pesan untuk pengunjung galeri.
“Banyak hal buruk terjadi di dunia saat ini yang membuat kita terluka, tapi kita harus tetap bersemangat dan memberikan semangat pada yang lain,” ujar Lee Hyun Jin, seniman pembuat instalasi ini, di Galeri Salihara, 15 Agustus lalu.
Lee adalah satu dari 13 seniman dari Korea dan Asia Tenggara yang ikut serta dalam pameran "New Icon: Pop in Asia", yang diselenggarakan oleh Center for Art and Community Management Surya University.
Pameran yang diselenggarakan untuk memperingati 25 tahun hubungan Korea dan ASEAN ini digelar di Galeri Salihara sejak 15 Agustus hingga 7 September mendatang. Dilihat dari tajuknya, pameran ini bertujuan untuk melihat bagaimana seniman dari setiap negara mengeksplorasi budaya populer, yang saat ini begitu menggurita.
Selain Lee Hyun Jin, ikut serta pula Lee Wan (Korea), Ise (Malaysia), Phunk (Singapura), Yuree Kensaku dan Maythee Noijinda (Thailand), Sam Siren (Brunei Darussalam), Sokuntevy Oeur (Kamboja), Ole Viravong Scovill (Laos), Arker Kyaw (Myanmar), Thomas Daquioag (Filipina), Ngoc Vo (Vietnam), serta Serrum dan Stereoflow (Indonesia).
Jeong-ok Jeon, kurator pameran ini, menyebutkan mereka adalah seniman terpilih dari setiap negara peserta yang memiliki ketertarikan terhadap budaya pop. "Kami juga mencari berbagai seniman yang memiliki pendekatan dan menggunakan media berbeda agar kita bisa melihat variasi dalam pameran ini," ujar Jeong.
Seniman Asia yang memilih pendekatan pop, ujar Jeong, punya kecenderungan yang cukup berbeda dengan seniman Barat. Seniman Barat lebih banyak menekankan pada aspek reproduksi dalam budaya pop. ”Sedangkan seniman Asia lebih banyak menggunakannya untuk membagi cerita personal mereka,” ujarnya.
Kecenderungan ini terlihat dalam karya-karya yang dipamerkan di galeri. Contohnya saja Sam Siren yang melihat Jakarta dari mata dan telinga seseorang dengan synesthesia—kondisi neurologis yang membuatnya melihat warna setiap kali mendengar suara. Ada pula Yuree Kensaku dan Maythee Noijinda yang melakukan interpretasi kontemporer terhadap dongeng rakyat Thailand. Juga, Thomas D. Daquioag yang mengangkat para pekerja kelas bawah sebagai tokoh superhero.
RATNANING ASIH