TEMPO.CO, Jakarta - Seni lukis modern di Bali tak bisa dilepaskan dari Belanda. Setidaknya ini yang tercermin dari lukisan yang sedang dipamerkan di Erasmus Huis yang berjudul Modern Balinese Painting-The Relationship with Rudolf Bonnet and Arie Smit.
Pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, menggelar pameran ini mulai 23 November 2013 hingga 14 Januari tahun depan. Lembaga ini menggandeng lima museum seni, yakni Puri Lukisan Museum, Neka Art Museum, Agung Rai Museum of Art, Museum Pasifika, dan Museum Oei Hong Djien, serta dua kolektor. Sejarawan seni, Dr Helena Spanjaard, mengkuratori pameran yang digelar di Erasmus Huis ini.
“Dua seniman Belanda, Rudolf Bonnet dan Arie Smit, sebagai contoh yang banyak memberi pengaruh pada seni lukis modern di Bali,” ujar Ton Van Zeeland, Direktur Erasmus Huis, saat konferensi pers di Erasmus Huis, Sabtu, 23 November 2013.
Selain lukisan Bonnet dan Smit, lukisan yang ikut dipamerkan adalah lukisan anak didik atau murid mereka, seperti Anak Agung Gede Sobrat dan I Made Sinteg. Keduanya adalah pelopor seni lukis Bali. Ada juga karya I Ketut Soki, I Dewa Putu Bedil, I Ketut Djodol, Ida Bagus Made Poleng, I Wayan Barwa, Anak Agung Gede Raka Puja, I Nyoman Londo, I Wayan Pugur, I Ketut Tagen, dan I Pageh.
Bonnet dan Smit datang setelah sebelumnya seniman Jerman, Walter Spies, datang ke Bali. Mereka, menurut Spanjaard, mempunyai peran penting terhadap seni lukis dan patung Bali. Itu sebabnya, dia memilih beberapa lukisan keduanya serta beberapa muridnya, para pelukis Bali. “Mereka mendorong dan mengembangkan seni lukis Bali dan para senimannya,” ujar Spanjaard.
Perubahan yang paling signifikan adalah munculnya seni lukis modern Bali yang mempunyai dimensi, warna, corak, pencahayaan, dan perspektif. Semula seni lukis tradisional Bali.
DIAN YULIASTUTI