TEMPO Interaktif,:- Di tangan Sigit Seto, tubuh Semar berubah menjadi kuning. Bersarung kain poleng, wajah tokoh pewayangan itu masih sama. Putih pekat seolah berbedak tebal dengan dua gigi menyembul dari bibir merahnya.
Sebagai sosok pengasuh Pandawa, pelukis otodidaktik asal Jakarta ini berniat memakai idiom Semar sebagai simbol kebijaksanaan. Tangan Semar dilukis menunjuk dua gedung terhormat di negeri ini, DPR dan Istana Negara. Satu pesan tertulis di ujung kanvas, "Berbuatlah yang terbaik untuk bangsamu."
Karya berjudul Semar itu adalah satu di antara 25 karya lima seniman Komunitas Selatan Jakarta pada pameran bertema "Satu" di Posnya Seni Godod, Yogyakarta, 1-10 Oktober. "Saya ingin memberikan support untuk negeri ini," kata Sigit tentang karyanya saat pembukaan pameran, Sabtu malam pekan lalu.
Selain itu, ada empat perupa lain: Alief, Aziz Alquasis, Heri Hito, dan Oceu Apristawijaya. Karya Alief berjudul Pertarungan di Lautan Warna berupa lukisan tentang sesosok lelaki yang sedang melukis peraturan seekor burung dan naga. Atau karya Oceu berjudul Broken Balance berupa makhluk hidup dan benda mati semisal orang, binatang, serta mobil dalam berbagai warna cerah.
Adapun Heri Hito mengeksplorasi elemen dekoratif. Karyanya yang berjudul Optimisme (Kawung Sukarno Hatta) berupa rangkaian motif batik kawung yang membentuk mozaik wajah sosok proklamator Indonesia: Sukarno dan Hatta.
Karya mereka pun tak terbatas pada media dua dimensi. Karya Aziz berjudul Angger Astrela Anakku memanfaatkan potongan sandaran kursi sebagai media utama dalam karya instalasi. Di sekujur kayu sisa kursi diberi lempengan besi bundar dengan gerigi di tepi. Di bagian bawah digantungkan pigura berisi selembar kertas bertulisan puisi untuk anaknya. Ada juga pigura berisi gambar Srikandi, sosok tokoh pewayangan perempuan yang perkasa. "Anak saya perempuan, tapi dia tomboi," katanya.
ANANG ZAKARIA