TEMPO Interaktif, BANDUNG - Sebanyak 20 drum gosong sisa pembakaran aspal berbaris dan bertumpuk di lantai ruang depan Gedung YPK Jalan Naripan, Bandung. Tulisan Aspal untuk Jalan Braga yang juga menjadi judul karya instalasi terbaru Tisna Sanjaya itu terbaca di drum hitam paling atas. Inilah aksi keprihatinan seniman itu terhadap kondisi Jalan Braga di kotanya.
Ruas jalan pertama yang diaspal di Bandung itu dulu mulus. Kini kondisinya berubah sejak aspal dibongkar lalu diganti dengan batuan andesit beberapa tahun lalu. Jalan itu pun menjadi bergelombang dan batuannya pecah berantakan.
Tiap kali dilindas roda sepeda atau mobil, bongkahan batuan andesit itu akan saling beradu dan menimbulkan bunyi. Karena itulah, kata Tisna, Jalan Braga sebaiknya diaspal kembali. "Lukisan yang ada di sini dijual untuk membeli bahan perbaikan jalan," katanya di Gedung YPK, Sabtu 24 September 2011. Di sekeliling instalasi aspal Tisna itu, berderet lukisan karya Rahmat Jabaril dan Diyanto.
Menurut Tisna, perbaikan Jalan Braga selama ini sudah menghabiskan banyak uang rakyat. Sebab blok batuan andesit itu kerap patah atau hancur berulang kali. "Kalau ada uangnya, kita akan berikan ke Pak (Walikota) Dada Rosada untuk beli aspal," ujarnya.
Instalasi Tisna Sanjaya itu ikut dipamerkan dalam pergelaran Braga Festival 2011 di sepanjang Jalan Braga dan Jalan Cikapundung. "Di tengah perayaan ini, ada bagian kerusakan jalan yang ditutupi," kata dosen Seni Rupa ITB itu.
Di samping karya Tisna, ada pula karya instalasi Deden Sambas dan Isa Perkasa. Berjudul Sampah Kapitalis, Isa menampilkan karya berupa plastik tembus pandang ukuran besar dan panjang. Isinya dipenuhi sampah gelas plastik seberat 100 kilogram. "Sebanyak itu yang dikumpulkan seorang pemulung dalam seminggu, bayangkan sampah lain yang dihasilkan dalam sebulan, setahun," katanya.
Gagasan karyanya muncul ketika melihat genangan sampah di Sungai Citarum ketika surut. Karya itu, kata Isa, juga untuk menghormati jasa para pemulung yang membantu mengurangi persoalan sampah namun kerap dianggap sebagai sampah masyarakat.
ANWAR SISWADI