TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Malam hampir larut. Namun, ratusan orang di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta masih meriung. Mereka tampak enggan lepas dari kursi empuknya. Dari atas panggung, seorang lelaki berkaus lengan panjang dengan warna merah-putih-hitam berseru, “Lagu ini kami persembahkan untuk 'almarhumah' Sapto Raharjo,” kata lelaki berikat kepala merah itu.
Sesaat kemudian, dentang gamelan bertalu-talu dalam balutan suara kendang, jinbe, gong, seruling, terompet dan rebana berbunyi. Disusul tembang Gambang Suling yang dilantunkan lelaki itu. “Gambang suling ngumandang swarane. Tulat tulit kepenak unine...,” suaranya menyatu dalam irama bernada Madura dan Jawa.
Tak peduli sang penyanyi salah sebut, almarhum atau almarhumah, penonton pun bertepuk tangan meriah. Itulah penampilan Sanggar Seni Mandi Laras asal Pamekasan, Madura, yang menjadi peserta terakhir Festival Gamelan Yogyakarta, Sabtu malam lalu, 9 Juli 2011.
Digagas pertama kali pada 1995 oleh maestro gamelan Sapto Raharjo--yang meninggal dunia pada 2009 dalam usia 54 tahun--festival kali ini merupakan yang ke-16 kalinya digelar. “Saya sampai merinding, seolah dia ada menyaksikan,” kata lelaki itu di akhir penampilan. Lagi-lagi, penonton bertepuk tangan meriah, lupa salah sebut yang diucapkannya.
Selain Mandi Laras asal Pamekasan, malam terakhir festival itu juga dimeriahkan oleh penampilan Gamelan Bocah asal Yogyakarta dan Rasamaya asal Solo. Dua hari sebelumnya, ada pula penampilan dari Sanggar Seni Anak Sang Bumi, Yayasan Pamulangan Beksan Sasmita Mardawa, Gamelan Lovers, Adkar Java Musik asal Yogykarta, dan Pusat Kesenian Balemong dari Ungaran.
Festival itu juga diikuti peserta asal luar negeri. Di antaranya Wong Yogya in Collaboration with Makoto and Kumiko, yang merupakan paduan antara Yogyakarta dan Jepang, Rene Lysloff asal Amerika, serta Alex Dea and Friends, yang merupakan gabungan seniman dari Amerika, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia. “Total ada 11 peserta,” kata Manajer Entertainment dan Education, Sari Utami Haryaningtyas.
Sejak hari pertama festival, penonton berjubel dan banyak di antaranya anak-anak muda. Festival bertema “Therapy For Life” itu memang tak khusus menargetkan banyaknya penonton yang datang, melainkan meningkatkan kesadaran melestarikan kesenian gamelan.
Dari tahun ke tahun, antusiasme penonton yang datang memang meningkat. “Sayangnya tak banyak sponsor melirik,” kata Sari Utami, yang telah 12 kali ikut dalam penyelenggaraan festival ini.
ANANG ZAKARIA