TEMPO Interaktif, Jakarta - Di atas selembar kanvas berukuran 190 X 130 sentimeter, perupa Herjaka HS menampilkan gambar awan Merapi. Berwarna keabuan dan bergulung membumbung ke angkasa. Dari dalam wedhus gembel itu, sosok wajah Minakjinggo, penguasa Blambangan, sebuah wilayah kerajaan di timur pulau Jawa, yang hadir bersama abdi setianya, Dayun. Seperti lazim lukisannya yang lain, Herjaka menggunakan idiom wayang untuk menggambarkan sosok keduanya.
Di kaki awan, Herjaka menggambarkan kecemasan rakyat terhadap amuk Merapi. Di sini, lagi-lagi, dia gunakan wayang untuk menggambarkannya. Wajah-wajah lelaki-perempuan hadir dalam bentuk mirip tokoh punakawan, seperti Gareng, Petruk dan Bagong. “Tiap kali bencana datang, rakyat juga mendapat sengsara,” kata dia, Minggu (30/1).
Dalam lukisan berjudul “Minakjinggo”, ada sebuah pesan yang hendak disampaikan Herjaka. “Tentang alam, dalam tanda kutip, yang sedang menagih janji penguasa,” kata dia. Ironisnya, lanjut dia, penguasa kerap lupa akan janji yang telah diucapnya. Untuk menggambarkan cerita tentang alpa penguasa, dia tambahkan sebuah gambar kursi di sudut kiri atas lukisannya. Kosong melompong.
Lukisan itu menjadi salah satu karya dari 28 perupa yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta. Bertema “Mirong Kampuh Jinggo”, karya perupa itu dipajang sejak Jumat (21/1) sepekan lalu dan berakhir hari ini. “Pameran itu berkisah tentang Prabu Minakjinggo,” kata Sindhunata, kurator pameran.
Prabu Minakjinggo, seperti kerap diangkat sebagai lakon dalam pementasan ketoprak, adalah seorang penguasa kerajaan Blambangan, letaknya di ujung timur pulau Jawa. Dia adalah tokoh kontroversif dan digambarkan bermuka anjing karena dianggap melawan penguasa pusat, Kerajaan Majapahit.
Pemberontakan Minakjinggo bukan tanpa sebab. Awalnya, dia adalah pemuda tampan dan sakti bernama Jaka Umbaran. Saat penguasa Majapahit Putri Kencanawungu menggelar sayembara untuk menumpas pemberontakan Bupati Lumajang, Kebo Marcuet, Minakjinggo datang menawarkan diri. Sebagai imbalan, sang puteri bersedia menikah dengan “Jinggo (jagoan)” yang mampu mengalahkan Kebo Marcuet yang berkepala kerbau.
Singkat cerita, Minakjinggo mampu menumpas pemberontakan itu. Namun dalam pertempuran hebat wajahnya rusak dan berubah menjadi anjing. “Karena diinjak-injak Kebo Marcuet,” kata Sindhunata berkisah.
Lantaran berupa menjadi si buruk rupa, puteri Kencanawungu enggan menikahinya. Penguasa Majapahit itu justru mengingkari janjinya.
Tapi, ada cerita lain yang mengisahkan Minakjinggo sebagai pemberontak Majapahit yang sekaligus berniat menikahi Puteri Kencanawungu. Sesuai wangsit yang diterimanya, hanya Damarwulan--anak desa yang bekerja di kandang kuda--yang mampu menumpas pemberontakan Minakjinggo.
Namun, menumpas Minakjinggo bukan perkara mudah. Dia memilik senjata ampuh, Gadha Wesi Kuning, yang sakti mandraguna. Berkat penghianatan dua selir Minakjinggo, Damarwulan akhirnya berhasil mencuri senjata itu. Dan, Minakjinggo pun tewas oleh senjatanya sendiri.
Cerita klasik rakyat itu, kata Sindhunata, dihadirkan kembali melalui pameran. Prabu Minakjinggo ditampilkan dalam konteks realitas sosial politik masa kini. “Tentang mereka yang terpinggirkan,” kata dia.
Minakjinggo yang berkepala anjing, misalnya, dihadirkan melalui lukisan Slamet Riadi berjudul “Endi Bektiku?”. Di atas kanvas berukuran 60 X 80 sentimeter, Slamet menampilkan sosok gagah berjas merah, berkemeja putih rapi lengkap dengan dasi yang berkepala anjing.
Di sini, kata Sindhunata, siapakah yang lebih layak disebut berwatak anjing: penguasa yang ingkar janji atau pemberontak yang teguh memegang prinsipnya? Berbicara tentang makna pemberontakan dan kesetian, Sindhunata mengajak melihat lukisan karya Irawan Banuaji berjudul “Pho Bias”.
Di lukisan berukuran 150 X 115 sentimeter itu, Irawan menggambar sosok lelaki bertopeng wayang sedang duduk di depan sebuah cermin rias. Dia berusaha menyelipkan sebilah keris di ikat pinggang. Yang unik adalah bukan topeng wayang yang terpantul pada cermin di depannya, melainkan wajah Mbah Marijan, juru kunci Merapi yang meninggal diterjang awan panas pada bencana erupsi lalu.
Mbah Marijan, menurut dia, adalah sosok yang diidentikkan dengan kesetiaan sekaligus ketidaksetiaan. Setia menjalankan misi menjaga Merapi sekaligus “pemberontak” pada kekuasaan keraton yang memberikan perintah. Secara prinsip, karakter mereka sama. “Tinggal dari bagian mana orang menilainya,” kata dia.
Cerita tentang Minakjinggo dengan kontroversi pemberontakannya, bagi Sindhu, masih cukup relevan diangkat. Ceritanya penuh sindiran, terlebih di tengah polemik keistimewaan Yogyakarta saat ini.
ANANG ZAKARIA