TEMPO.CO , Makassar: Ribuan sendok dan garpu berserakan. Ratusan buah tomat dan anggur berantakan di lantai panggung. Beberapa mangkuk berisi tomat bercampur anggur. Di lantai panggung itu, tersebar pula kain berwarna serta beberapa alat lainnya. Tiga orang tanpa baju dan hanya bercelana pendek tampil di depan panggung. Mereka Busrok Yusuf Busro, Scotlet, dan Roi Julian.
Scotlet yang gemuk sibuk memainkan tab. Sesekali ia berfoto selfie. Busrok berkacamata hitam memungut beberapa buah yang dikumpulkan dalam mangkuk di tangannya. Sedangkan Roi yang gondrong memegang miniatur kota, berbalut jaket antipeluru yang berisi puluhan garpu.
Adegan ini merupakan bagian dari teater yang berjudul Mangkuk Bakus—Usai Hujan Sendok Garpu Ketakutan di Bawah Kaki. Ketiga aktor ini berasal dari Bandar Teater Jakarta, yang turut meramaikan Festival Societeit De Harmonie, di Gedung Kesenian Makassar, Senin malam, 15 September 2014.
Teater ini mencoba mengangkat kondisi realitas masyarakat yang menjadi masalah lantaran hal-hal kecil. Menceritakan masyarakat urban dan tentang kemajuan teknologi yang tak terbendung, seperti yang diasumsikan oleh Aslan Abidin—dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar—bahwa sendok-garpu tidak lagi menjadi alat makan, tapi untuk prestise, menunjukkan status sosial tertentu.
Dalam sebuah adegan, Busrok dibunuh dua perempuan yang diperankan oleh Scotlet dan Roi. Mereka berdua mengenakan kain yang dibalut untuk mempertegas kesan feminin. Cerita ini memang bukan rangkaian cerita utuh, namun kumpulan dari beberapa adegan. Mengusung visi untuk merefleksi keadaan masyarakat saat ini. “Saya ini produk modern. Kita lihat bagaimana kemajuan teknologi. Apakah kamu telah berdamai dengan hasrat?” ujar Malhamang Zamzam, selaku sutradara.
<!--more-->
Menurut dia, kemajuan teknologi tak terelakkan lagi. Manusia modern sekarang tak lagi mampu membedakan keinginan dan kebutuhannya. Belum lagi segala macam ketersediaan alat untuk memudahkan, yang membuat kita terlena dan memaksa kita untuk mengikuti hal tersebut, demi mendapat pengakuan sebagai manusia modern. “Saya ingin membawa penonton masuk ke dalam cerita. Dan setelah pulang ke rumah, penonton bisa berpikir bagaimana menghadapi kondisi seperti ini.”
Sempat terjadi insiden kecil dalam penampilan berdurasi sekitar 35 menit ini. Pelipis Busrok robek dan berdarah. Penonton sempat kaget. Namun penampilan tetap berlanjut. “Itu hanya kecelakaan kecil,” kata sutradara yang pernah menetap di tanah Bugis sebelum hijrah ke Ibu Kota.
Seniman Makassar, Asdar Muis R.M.S., yang menonton pertunjukan ini, menilai teater yang ditampilkan bukanlah seni pertunjukan, melainkan sajak pertunjukan. Ia menilai pertunjukan itu merupakan pertunjukan abstrak yang realis yang menggunakan sendok-garpu sebagai simbol perebutan demi mempertahankan hidup. “Kalau soal makan, bukan cuma di kota yang bermasalah. Di rumah saya dan di desa-desa mengalami hal yang serupa. Susah cari makan.”
Asia Ramli Prapanca juga ikut berkomentar. Menurut dosen UNM ini, penonton bisa beraktualisasi dengan pementasan yang berlangsung. Walau penampilan itu bukan berada di panggung, melainkan tepat di depan penonton, tak mengurangi nilai kesan yang ingin disampaikan. “Ini pementasan yang mencoba meruntuhkan sebab-akibat. Bukan pementasan yang linear-naratif.” Tak hanya itu, pementasan ini sifatnya lintas narasi, lintas tema, lintas wacana, serta lintas teks. Meski pertunjukan ini digarap hampir tiga tahun, sutradara mengaku belum menemukan racikan yang sempurna.
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Mega: Emangnya Saya Ngurusin Kabinet
Gerindra Kongres, Adik Prabowo Datangi Ragunan
Jokowi: Peluang PPP dan PAN Bergabung 80 Persen